Belum lama ini sepakbola Indonesia kembali berduka. Seorang pemain
bernama Akli Fairus meninggal dunia setelah berbenturan dengan kiper
PSAP Sigli, Agus Rochman, dalam pertandingan Divisi Utama Liga
Indonesia.
Akli sempat dilarikan ke rumah sakit untuk menerima
perawatan medis. Sayangnya, setelah enam hari dirawat, ia menghembuskan
nafas terakhirnya di rumah sakit.
Pemain Persiraja Banda Aceh
berumur 27 tahun itu hanya satu nama dari beberapa pemain sepakbola yang
hidupnya berakhir di lapangan hijau dalam satu dekade terakhir. Eri
Irianto (Persebaya Surabaya), Jumadi Abdi (PKT Bontang), dan Sekou
Camara (PBR) adalah beberapa nama lain yang lebih dulu menghembuskan
nafas terakhir ketika sedang bermain.
Standar Ideal
Sepakbola
memang olahraga yang memaksa tubuh untuk bekerja hingga mencapai batas
kapasitas kemampuan tubuh. Dalam satu laga, tak jarang pula kedua tim
sama-sama ngotot untuk mengejar kemenangan, sehingga timbul
benturan-benturan ringan, atau benturan berat yang menjurus pada bahaya.
Masalahnya,
beberapa alat pengamanan yang boleh dikenakan pemain tentu tak menjamin
100% keselamatan. Alat-alat tersebut hanya sedikit melindungi bagian
tubuh tertentu yang paling rawan terkena bahaya.
Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, FIFA lalu membuat standar
medis yang harus disediakan pada setiap pertandingan sepakbola. Yang
pertama adalah standar medis untuk tenaga kesehatan, baik yang disiapkan
oleh masing-masing klub maupun yang disediakan oleh penyelenggara
pertandingan.
Pada dasarnya, setiap klub minimal wajib memiliki
seorang dokter dan seorang fisioterapis dengan standar yang sudah
ditetapkan oleh FIFA. Tidak bisa sembarang. Dokter-dokter di lapangan
harus sudah memiliki sertifikat pelatihan penanganan medis sepakbola
dari FIFA, atau dari asosiasi di negara tersebut.
Penting untuk
diingat bahwa tenaga medis adalah satu-satunya orang yang memiliki hak
untuk melakukan penanganan medis bagi pemain ataupun ofisial yang
mengalami cedera atau mengalami gangguan kesehatan. Selain dokter,
selama pertandingan berlangsung, semestinya tidak boleh ada pihak
manapun yang melakukan tindakan medis.
Setiap tenaga medis yang
merupakan bagian dari klub pun diwajibkan untuk hadir di lapangan pada
setiap pertandingan. Sekali lagi, karena memang hanya mereka yang
memiliki hak untuk melakukan penanganan medis.
Pihak
penyelenggara pertandingan, atau biasanya tim kandang, juga harus
menyediakan satu orang dokter lain sebagai dokter pertandingan. Ia akan
bertindak ketika terjadi sesuatu yang tidak terduga sehingga harus
segera dilakukan tindakan.
Selain seorang dokter, pihak
penyelenggara pertandingan juga harus menyediakan tenaga medis lain yang
selalu siap membawa tandu dan peralatan P3K. Mereka juga harus selalu
siaga untuk memberikan bantuan kepada tim dokter saat menangani pemain
yang cedera. Sebagaimana dokter, para tenaga medis juga harus memiliki
kualifikasi sesuai dengan standar FIFA.
Dari segi peralatan, FIFA
sudah dengan sangat jelas menginstruksikan alat-alat medis yang harus
disiapkan oleh tim medis pertandingan maupun tim dokter tim. FIFA
menyebut peralatan ini dalam satu tas yang disebut FIFA Medical Emergency Bag (FMEB). Beberapa peralatan yang harus tersedia di dalam tas ini di antaranya adalah alat infus, ventilation bag, blood pressure monitor, dan beberapa alat-alat kesehatan lainnya.
Di
dalam stadion sepakbola, ambulans sudah menjadi kendaraan yang harus
selalu siap mengantarkan mereka yang mengalami masalah kesehatan ke
rumah sakit terdekat yang sudah dirujuk untuk pertandingan tersebut.
Stadion juga harus menyediakan sebuah ruangan tersendiri untuk melakukan segala penanganan medis.
Terdapat
beberapa peraturan yang harus dipenuhi oleh ruang medis ini, di
antaranya adalah masalah kebersihan, zona terlarang bagi orang lain
selain tim medis bersangkutan, hanya boleh digunakan untuk aktivitas
medis, akses yang mudah dijangkau dari lapangan dan ruang ganti, dan
beberapa peraturan lainnya.
Kisah-kisah
heroik penyelamatan medis di lapangan sepakbola, seperti saat Petr Cech
mengalami benturan di kepala, saat Aaron Ramsey patah kaki, atau ketika
Allan McGregor mengalami masalah pada ginjalnya, lahir akibat kepatuhan
tim-tim Liga Inggris kepada prosedur yang ditetapkan FIFA ini.
Tenaga medis ahli serta peralatan yang lengkap membuat beberapa keajaiban tersebut dapat terjadi.
Pertanyaannya
kemudian adalah berapa persen dari prosedur FIFA ini yang telah
benar-benar dijalani di Indonesia? Seberapa besar peran PSSI dalam
menjalankan fungsi pengawasan untuk tidak memberikan izin pertandingan
yang tidak sesuai prosedur?
Lalu, seberapa banyak klub ISL maupun
Divisi Utama yang selalu menyiapkan tim dokter dengan perlengkapan
penuh pada setiap pertandingannya? Ada berapa stadion di Indonesia yang
yang selalu menyiapkan ambulans dan peralatan medis serta memiliki
ruangan medis yang mengikuti standar FIFA?
Peraturan yang Sering Diabaikan
Pencegahan
lain yang bisa dilakukan FIFA untuk menghindari kejadian-kejadian yang
tidak diinginkan adalah dengan membuat peraturan.
Pada dasarnya, law of the game memang
dibuat untuk membuat hasil pertandingan menjadi adil bagi kedua tim.
Namun tujuan lain yang tidak kalah penting adalah untuk mencegah
terjadinya tindakan berlebihan yang dapat membahayakan pemain lain
maupun dirinya sendiri.
Karena itulah FIFA menetapkan beberapa
tindakan yang dianggap pelanggaran ringan, pelanggaran yang harus diberi
peringatan, hingga pelanggaran berat yang kemudian menyebabkan pemain
diusir dari lapangan. Pada tahap tertentu, pemain juga harus diberikan
hukuman lebih berupa larangan bertanding dalam jumlah spesifik.
Peraturan yang telah ada kemudian selalu dievaluasi untuk terus diperbaiki. Tujuan utamanya adalah keselamatan para pemain.
Salah
satu contohnya adalah ketika pada beberapa tahun lalu sepakbola
diwarnai oleh banyak insiden cedera patah kaki. FIFA lalu memperketat
peraturannya soal sliding tackle. Tidak ada lagi toleransi bagi
para pemain yang melakukan aksi tersebut dengan menggunakan kedua
kakinya. Apalagi jika tekel dilakukan dengan sangat agresif.
Wasit
diperintahkan untuk tanpa ragu mengusir pemain yang melakukan tindakan
tersebut, tidak peduli apakah tekel itu mengenai lawan atau tidak. Kartu
merah beserta skorsing dengan jumlah pertandingan tertentu harus
langsung dilayangkan bagi para pesepakbola yang nekat melakukan tekel
agresif.
Lagi-lagi, tujuannya bukan sekadar untuk membuat
pertandinganan menjadi lebih adil, namun untuk membuat keselamatan para
pemain lebih terjamin. Dengan tidak adanya kompromi, maka secara
otomatis setiap pemain akan berpikir ulang jika akan melakukannya.
Namun,
ironisnya, kita belum melihat Liga Indonesia telah menjalankan setiap
peraturan FIFA ini. Wasih masih sering berkompromi terhadap pemain yang
melakukan pelanggaran berbahaya. Hukuman yang diberikan acap kali
terlalu ringan sehingga tidak memberikan efek jera.
Di Liga Indonesia, seberapa sering Anda melihat sliding tackle dengan
kedua kaki yang hanya diberikan kartu kuning atau bahkan tidak
diberikan peringatan sama sekali? Seberapa sering kita melihat pemain
melakukan tekel agresif dan tidak mendapatkan kartu merah?
Masih
terlalu banyak toleransi yang diberikan para wasit ISL terhadap
pelanggaran-pelanggaran, sehingga pemain pun tidak kapok ketika
melakukan tindakan berlebih. Apa yang terjadi kemudian adalah secara
tidak sadar para pemain akan lebih sering mempraktekan tindakan-tindakan
yang membahayakan lawan tersebut.
Soal kecelakaan dan kematian
memang bukan satu hal yang dapat diatur oleh manusia. Semua sudah
menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. Apapun usaha yang dilakukan manusia
untuk menghindari maut, hanya sekadar memperkecil kemungkinan, atau
bahkan mungkin tidak sama sekali. Bahkan Akli pun meninggal setelah
diberi perawatan enam hari.
Namun sudah menjadi kodrat manusia
untuk selalu berusaha menuju apa yang ia harapkan. Apalagi berurusan
dengan nyawa dan keselamatan. Jika dengan mematuhi standar perlakuan
medis dan ketat dengan peraturan maka kemungkinan menyelamatkan nyawa
pemain bisa ditingkatkan, maka sudah sepatutnya dilakukan tanpa
kompromi.
standar keselamatan dalam sepak bola
Written By iqbal_editing on Kamis, 17 November 2016 | 14.58
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar