profil tim persib bagian 1

Written By iqbal_editing on Rabu, 09 November 2016 | 01.45

Persib (Persatuan Sepak Bola Indonesia Bandung) adalah sebuah tim sepak bola Indonesia terbesar yang berdiri pada 14 Maret 1933, klub ini berbasis di Bandung, Jawa Barat. Persib saat ini bermain di Liga Super Indonesia. Julukan mereka adalah Maung Bandung dan Pangeran Biru. Sponsor utama dan terbesar masih di pegang Indofood dan apparel jersey yang terbaru adalah Sportama.

Daftar isi

Sejarah

Sebelum bernama Persib Bandung, di Kota Bandung berdiri Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) pada sekitar tahun 1923. BIVB ini merupakan salah satu organisasi perjuangan kaum nasionalis pada masa itu. Tercatat sebagai Ketua Umum BIVB adalah Mr. Syamsudin yang kemudian diteruskan oleh putra pejuang wanita Dewi Sartika, yakni R. Atot.
Atot pulalah yang tercatat sebagai Komisaris Daerah Jawa Barat yang pertama. BIVB memanfaatkan lapangan Tegallega di depan tribun pacuan kuda. Tim BIVB ini beberapa kali mengadakan pertandingan di luar kota seperti Yogyakarta dan Jatinegara, Jakarta.
Pada tanggal 19 April 1930, BIVB bersama dengan VIJ Jakarta, SIVB (sekarang Persebaya), MIVB (PPSM Magelang), MVB (PSM Madiun), VVB (Persis Solo), dan PSM (PSIM Yogyakarta) turut membidani kelahiran PSSI dalam pertemuan yang diadakan di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. BIVB dalam pertemuan tersebut diwakili oleh Mr. Syamsuddin. Setahun kemudian kompetisi tahunan antar kota/perserikatan diselenggarakan. BIVB berhasil masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1933 meski kalah dari VIJ Jakarta.
BIVB kemudian menghilang dan muncul dua perkumpulan lain yang juga diwarnai nasionalisme Indonesia yakni Persatuan Sepak bola Indonesia Bandung (PSIB) dan National Voetball Bond (NVB). Pada tanggal 14 Maret 1933, kedua perkumpulan itu sepakat melakukan fusi dan lahirlah perkumpulan yang bernama Persib yang kemudian memilih Anwar St. Pamoentjak sebagai Ketua Umum. Klub-klub yang bergabung ke dalam Persib adalah SIAP, Soenda, Singgalang, Diana, Matahari, OVU, RAN, HBOM, JOP, MALTA, dan Merapi.
Persib kembali masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1934, dan kembali kalah dari VIJ Jakarta. Dua tahun kemudian Persib kembali masuk final dan menderita kekalahan dari Persis Solo. Baru pada tahun 1937, Persib berhasil menjadi juara kompetisi setelah di final membalas kekalahan atas Persis.
Di Bandung pada masa itu juga sudah berdiri perkumpulan sepak bola yang dimotori oleh orang-orang Belanda yakni Voetbal Bond Bandung & Omstreken (VBBO). Perkumpulan ini kerap memandang rendah Persib. Seolah-olah Persib merupakan perkumpulan "kelas dua". VBBO sering mengejek Persib. Maklumlah pertandingan-pertandingan yang dilangsungkan oleh Persib ketika itu sering dilakukan di pinggiran Bandung, seperti Tegallega dan Ciroyom. Masyarakat pun ketika itu lebih suka menyaksikan pertandingan yang digelar VBBO. Lokasi pertandingan memang di dalam Kota Bandung dan tentu dianggap lebih bergengsi, yaitu dua lapangan di pusat kota, UNI dan SIDOLIG.
Persib memenangkan "perang dingin" dan menjadi perkumpulan sepak bola satu-satunya bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya. Klub-klub yang tadinya bernaung di bawah VBBO seperti UNI dan SIDOLIG pun bergabung dengan Persib. Bahkan VBBO (sempat berganti menjadi PSBS sebagai suatu strategi) kemudian menyerahkan pula lapangan yang biasa mereka pergunakan untuk bertanding yakni Lapangan UNI, Lapangan SIDOLIG (kini Stadion Persib), dan Lapangan SPARTA (kini Stadion Siliwangi). Situasi ini tentu saja mengukuhkan eksistensi Persib di Bandung.
Ketika Indonesia jatuh ke tangan Jepang, kegiatan persepak bolaan yang dinaungi organisasi dihentikan dan organisasinya dibredel. Hal ini tidak hanya terjadi di Bandung melainkan juga di seluruh tanah air. Dengan sendirinya Persib mengalami masa vakum. Apalagi Pemerintah Kolonial Jepang pun mendirikan perkumpulan baru yang menaungi kegiatan olahraga ketika itu yakni Rengo Tai Iku Kai.
Tapi sebagai organisasi bernapaskan perjuangan, Persib tidak takluk begitu saja pada keinginan Jepang. Memang nama Persib secara resmi berganti dengan nama yang berbahasa Jepang tadi. Tapi semangat juang, tujuan dan misi Persib sebagai sarana perjuangan tidak berubah sedikitpun.
Pada masa Revolusi Fisik, setelah Indonesia merdeka, Persib kembali menunjukkan eksistensinya. Situasi dan kondisi saat itu memaksa Persib untuk tidak hanya eksis di Bandung. Melainkan tersebar di berbagai kota, sehingga ada Persib di Tasikmalaya, Persib di Sumedang, dan Persib di Yogyakarta. Pada masa itu prajurit-prajurit Siliwangi hijrah ke ibukota perjuangan Yogyakarta.
Baru tahun 1948 Persib kembali berdiri di Bandung, kota kelahiran yang kemudian membesarkannya. Rongrongan Belanda kembali datang, VBBO diupayakan hidup lagi oleh Belanda (NICA) meski dengan nama yang berbahasa Indonesia Persib sebagai bagian dari kekuatan perjuangan nasional tentu saja dengan sekuat tenaga berusaha menggagalkan upaya tersebut. Pada masa pendudukan NICA tersebut, Persib didirikan kembali atas usaha antara lain, dokter Musa, Munadi, H. Alexa, Rd. Sugeng dengan Ketua Munadi.
Perjuangan Persib rupanya berhasil, sehingga di Bandung hanya ada satu perkumpulan sepak bola yakni Persib yang dilandasi semangat nasionalisme. Untuk kepentingan pengelolaan organisasi, dekade 50-an ini pun mencatat kejadian penting. Pada periode 1953-1957 itulah Persib mengakhiri masa pindah-pindah sekretariat. Wali Kota Bandung saat itu R. Enoch, membangun Sekretariat Persib di Cilentah. Sebelum akhirnya atas upaya R. Soendoro, Persib berhasil memiliki sekretariat Persib yang sampai sekarang berada di Jalan Gurame.
Pada masa itu, reputasi Persib sebagai salah satu jawara kompetisi perserikatan mulai dibangun. Selama kompetisi perserikatan, Persib tercatat pernah menjadi juara sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1961, 1986, 1990, dan pada kompetisi terakhir pada tahun 1994. Selain itu Persib berhasil menjadi tim peringkat kedua pada tahun 1950, 1959, 1966, 1983, dan 1985.
Keperkasaan tim Persib yang dikomandoi Robby Darwis pada kompetisi perserikatan terakhir terus berlanjut dengan keberhasilan mereka merengkuh juara Liga Indonesia pertama pada tahun 1995. Persib yang saat itu tidak diperkuat pemain asing berhasil menembus dominasi tim tim eks galatama yang merajai babak penyisihan dan menempatkan tujuh tim di babak delapan besar. Persib akhirnya tampil menjadi juara setelah mengalahkan Petrokimia Putra melalui gol yang diciptakan oleh Sutiono Lamso pada menit ke-76.
Sayangnya setelah juara, prestasi Persib cenderung menurun. Puncaknya terjadi saat mereka hampir saja terdegradasi ke Divisi I pada tahun 2003. Beruntung, melalui drama babak playoff, tim berkostum biru-biru ini berhasil bertahan di Divisi Utama.
Sebagai tim yang dikenal baik, Persib juga dikenal sebagai klub yang sering menjadi penyumbang pemain ke tim nasional baik yunior maupun senior. Sederet nama seperti Risnandar Soendoro, Nandar Iskandar, Adeng Hudaya, Heri Kiswanto, Ajat Sudrajat, Yusuf Bachtiar, Dadang Kurnia, Robby Darwis, Budiman, Nur'alim, Yaris Riyadi hingga generasi Erik Setiawan dan Eka Ramdani merupakan sebagian pemain timnas hasil binaan Persib. Sampai saat ini Persib Bandung adalah tim Indonesia yang bisa di bilang paling dibanggakan oleh Indonesia karena prestasi dan kemampuannya.

Jalan panjang Persib

PERSIB Bandung selalu punya tempat istimewa di hati bolamania nasional. Kekaguman dan kecintaan mereka, para penggila sepak bola nasional, menyebar ke seantero negeri. Melewati batas wilayah Bandung dan Jawa Barat, tempat jagoan Bandung dibidani. Kemegahan sepak bolanya tidak mampu ditepis. Selalu memanggil dan menggali perhatian para pecandu sepak bola nasional untuk tidak sekejap pun melepaskan perhatiannya pada sosok Persib Bandung.
Tak peduli prestasinya tengah tenggelam, pesona Pangeran Biru julukan lain Persib Bandung– tetap membius bolamania nasional. Stadion Siliwangi, Bandung, markas keramatnya, tidak pernah sepi dari dendang riang penggilanya. Bobotoh setianya tetap saja tumplek dan menyatu di sana. Tidak sekalipun mereka pergi menjauh. Apalagi berpaling hati. Tetap setia mendampingi timnya mesti air mata terus mengucur.
Yang paling fenomenal Stadion Utama Senayan, Jakarta, selalu penuh oleh ribuan pendukung Persib dan bolamania nasional, jika jagoan Bandung menembus babak final Divisi Perserikatan dan Divisi Utama Liga Indonesia. Menjadi aset penyelenggara pertandingan yang paling menggiurkan adalah ikon yang tidak terbantahkan. Tidak terhapus oleh zaman.
“Sungguh. Kalau siaran langsung sepak bola di Indonesia tidak dibagi rata antar stasiun televisi nasional, banyak stasiun yang ingin membeli hak siar pertandingan Persib,” jelas Asdedi, salah seorang produser televisi ANTV, sebelum hak siar jatuh ke stasiun televisi tersebut.
Tak aneh serombongan pemain nasional atau mantan nasional, bahkan yang baru muncul sekalipun di pentas sepak bola nasional, berlomba-lomba melamar untuk melebur ke tim “Maung Bandung”. Mereka percaya, namanya bakal cepat berkibar, dikenal banyak orang dan kembali dilirik tim nasional karena bisa mendarat di tim dengan reputasi besar di pentas sepak bola nasional.
”Persib adalah tim besar. Permainannya cantik. Pendukungnya luar biasa. Nama besarnya di pentas sepak bola nasional adalah garansi bagi kami untuk bisa menembus level nasional. Bermain di Persib adalah kesempatan besar mengembangkan karier sepak bola,” begitu ungkapan umum yang biasa dilontarkan pemain pendatang ketika pertama kali meleburkan dirinya dengan tim pujaan masyarakat Bandung dan Jawa Barat.
Back on track, begitulah fenomena yang menyertai langkah para pemain di tim Persib. Kebersamaan mereka menyemburkan hasrat berprestasi tinggi. Menggelorakan asa dan menjulangkan harkat diri sebagai pemain sepak bola jempolan yang beredar di pentas nasional. Hingga masa edarnya di Divisi Utama semakin panjang. Yang pada gilirannya menjadi salah satu legenda di semua hajatan kompetisi yang diakui PSSI.
“Saya memang banyak memperkuat klub yang beredar di Liga Indonesia. Tapi terasa tidak lengkap karier sepak bola saya karena tidak bisa menjadi bagian Persib. Padahal, saya begitu bernafsu ingin membela Persib setelah sukses bersama Bandung Raya. Entah kenapa manajemen tim Persib tidak sekalipun mau memalingkan pilihan pada diri saya,” sembur Kisito Piere Olinga ‘Kopa’ Atangana.
Besarnya animo pemain berlabuh di lambung “Maung Bandung” membuktikan Persib tim yang tak pernah terpinggirkan. Selalu jadi dambaan dan fokus utama pengembangan karier sepak bolanya. Mengenakan kaus kebesaran “Maung Bandung” praktis gengsi pemain melambung tinggi. Sekejap saja, mereka bisa jadi selebritis. Diburu tanda tangannya. Dimintakan wajahnya untuk menghiasi berbagai layar kaca. Baik itu di stasiun televisi lokal atau di telepon genggam berfasilitas kamera yang selalu dibawa bobotoh-nya.
Selain karena Persib sudah menjadi ikon Jawa Barat, iklim sepak bolanya penuh warna. Benar-benar colourfull. Meriah sejak pembentukan tim hingga kompetisi usai digelar. Sejarah besarnya di pentas sepak bola nasional, dan fanatisme pendukungnya luar biasa adalah magnet yang tidak bisa dielakan begitu saja oleh pecandu bola nasional.
“Atmosfer sepak bola di Bandung benar-benar jempolan. Saya begitu kagum melihat dukungan penonton yang hebat dan luar biasa. Tidak hanya di partai sesungguhnya di ajang kompetisi, di partai uji coba pun penonton melimpah dan membludak hingga pinggir lapangan. Hebat,” puji Redouane Barkaoui, tukang gedor “Maung Bandung” asal Maroko.
“Atmosfer sepak bola di Bandung memang tiada duanya. Hasrat bobotoh mendukung timnya patut diapresiasi dengan prestasi membanggakan. Dukungan bobotoh yang tidak pernah surut adalah motivator utama saya dalam mengibarkan sepak bola prestasi bersama Persib”, sambung Christian Bekamenga Bekamengo, pemain asing termahal di Persib .
Perhatian bolamania nasional kepada Persib memang tidak pernah putus. Tradisi juara yang melekat di dirinya memungkinkan Persib terus menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat sepak bola Indonesia. Apa yang dibuat dan dihamparkan Persib, selalu jadi tolak ukur persepak bolaan nasional. Geliat Persib pasti mengundang orang untuk menengok. Dan memberikan perhatian lebih untuk lebih dalam menyimak dapur pacu jagoan Bandung.
Tak aneh, dalam setiap hajatan sepak bola tingkat nasional, kehadiran jagoan Bandung selalu mendapat perhatian lebih dari bolamania nasional. Namanya selalu disebut-sebut jadi kandidat kuat mengalungkan gelar juara pada setiap hajatan sepak bola nasional yang diikutinya. Buntutnya lahirlah stigma yang berlaku umum di jagad sepak bola nasional.
Apa? Ini : Lebih baik kalah dari tim lain ketimbang dari Persib. Sukses mengalahkan Persib adalah kemenangan luar biasa. Bahkan nilai minimal yang dipetik tim lawan saat merumput di Stadion Siliwangi, kerap diidentikan dengan sebuah kemenangan. Melulu karena, Persib bukan tim sembarangan. Kualitas sepak bolanya mumpuni. Orkestra sepak bolanya, indah dan menghayutkan lawan-lawannya. Memberi kabar buruk pada lawan adalah kabisanya.
Indikatornya kemeriahan prestasi yang mengitari Persib Bandung sepanjang partisipasinya di pentas sepak bola nasional. Untuk pentas Divisi Utama Perserikatan misalnya, Persib mengalungi gelar juara sebanyak lima kali. Gelar itu disunting jagoan Bandung tahun 1937, 1961, 1986, 1990, 1994. Bahkan kompetisi Liga Indonesia perdana 1994/95 menjadi milik Persib, usai mematahkan perlawanan tim elit Petro Kimia Putra 1-0 di partai final lewat gol semata wayang yang disunting bomber Sutiono Lamso.
Tentu, bukan hanya event itu yang mewarnai perjalanan prestasi “Maung Bandung”. Masih banyak pentas lainnya yang memberi suka bagi penggila fanatiknya. Juara Surya Cup (Surabaya) 1978 digapai usai mematahkan perlawanan Persija 1-0. Gol emas itu disumbangkan Max Timesela. Dua tahun sebelumnya, gelar yang sama juga dipetik jagoan Bandung. Yusuf Cup 1975 dan 1977 juga dipuncaki anak-anak Bandung.
Bahkan, usai jadi runner-up Yusuf Cup VIII/1979, setahun kemudian Persib mencuri gelar juara di turnamen kebanggaan masyarakat Ujung Pandang. Masih pada tahun yang sama, Piala Gubernur Sumatera Selatan juga masuk ke lemari prestasi Persib meski jagoan Bandung hanya nangkring di peringkat ketiga.
“Sepanjang ingatan saya, hanya turnamen Marah Halim Cup (Medan) yang tidak pernah bisa di raih Persib. Tapi di turnamen lainnya yang tersebar di banyak daerah, macam Yusuf Cup (Makasar) dan Tugu Muda (Semarang), Persib sempat tampil sebagai juara,” cerita Encas Tonif, mantan pemain Persib era 70-an/80-an.
Di ajang regional, pesona Persib pun merona. Tahun 1986, usai Persib memuncaki kompetisi Perserikatan Divisi Utama, Piala Sultan Khasanah Bolkiah berhasil dibawa pulang ke Bumi Pajajaran. Di partai final, Persib yang mendapat tenaga tambahan dari libero terbaik Indonesia saat itu Herry Kiswanto, mengalahkan tim nasional Malaysia. Gol kemenangan jagoan Bandung dilesakan Yusuf Bachtiar, yang kemudian melegenda sebagai dirijen utama Persib di Liga Indonesia.
“Kita bisa menjadi juara di Piala Sultan Hasanal Bolkiah karena Persib memang sedang di puncak prestasi. Dan memenuhi pra syarat sebagai tim juara. Di semua lini permainan tidak ada sama sekali celah yang bisa mengandaskan impian kami dalam mengibarkan sepak bola prestasi. Teknis dan non teknis jempolan. Tidak ada sama sekali ganjalan untuk menjadi the champion. Juara memang tinggal menunggu waktu saja,” ungkap Bambang Sukowiyono.
Di ajang Piala Champion Asia 1995 aksi anak-anak Bandung pun gilang-gemilang. Tim besutan Indra M. Thohir membukakan mata sepak bola internasional. Bermodalkan dua kemenangan atas Bangkok Bank (Thailand) dan Pasay City (Philipina) pesaingnya di babak awal Persib yang datang dengan status tim amatir, di antara para raksasa Asia dengan sepak bola profesionalnya, mampu merangsek hingga babak perempatfinal wilayah Timur yang digelar di Stadion Siliwangi.
Sayang, tim pujaan masyarakat Tatar Pasundan tidak mampu berbuat lebih banyak lagi. Langkah raksasa mereka pun terhenti sampai di situ, setelah Verdy Kawasaki (Jepang) memberi luka 1-3, ditundukan Thai Farmers Bank (Thailand) 2-3, dan dihempang Ilhwa Chunwa (Korea Selatan) 1-4. Kendati begitu, Persib masih bisa tersenyum. Karena Indra M Thohir, sang sutradara terpilih sebagai pelatih terbaik Asia versi AFC (Asosiasi Sepak bola Asia).
“Kalah dan terhenti di babak perempatfinal Wilayah Timur memang sudah diprediksi. Lawan yang kita hadapi, kualitasnya jauh di atas lawan-lawan Persib di babak penyisihan sebelumnya. Tapi, apapun adanya, langkah Persib sudah terekam dalam sejarah perhelatan Piala Champion Asia. Tim amatir tetapi mentalnya sangat profesional, sulit dilahirkan lagi dalam waktu yang relatif pendek,” jelas Asep Kustiana, yang merobek gawang Chunwa lewat titik penalti.
Secara resmi, Persatuan sepak bola Indonesia Bandung (Persib) berdiri pada tanggal 14 Maret 1933. Menurut berbagai catatan, yang menjadi embrio Persib adalah sebuah klub yang dijadikan alat perjuangan kaum nasionalis bernama Bandoeng Inlandsche Voetball Bond (BIVB). Klub yang didirikan sekitar tahun 1923 ini, menjadi salah satu klub yang turut mendirikan Persatuan sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 19 April 1930 di Yogyakarta. Tercatat, ketika itu BIVB dipimpin oleh seorang tokoh bernama Mr. Syamsoedin.
Berdasarkan catatan yang ada, pada tahun-tahun berikutnya, BIVB dipimpin oleh R. Atot, putra tokoh pejuang wanita Dewi Sartika. Pada saat itu, yang menjadi kandang BIVB adalah di Lapangan Tegallega, di depan tribun pacuan kuda. Ketika itu BIVB juga sudah mewakili Bandung dalam kejuaraan nasional. Tercatat BIVB pernah menjadi runner-up kejuaraan nasional pada tahun 1933 yang digelar di Surabaya, di bawah VIJ Jakarta. Prestasi serupa diraih BIVB pada kompetisi tahun berikutnya di Bandung. Namun, dalam beberapa tahun kemudian, BIVB menghilang dari peredaran.
Pada awal dekade 30-an, di Bandung juga muncul dua perkumpulan sepak bola lain yaitu Persatuan sepak bola Indonesia Bandung (PSIB) dan National Voetbal Bond (NVB). Pada tanggal 14 Maret 1933, kedua perkumpulan itu sepakat melakukan fusi dan muncullah perkumpulan sepak bola baru bernama Persib. Anwar St. Pamoentjak tercatat sebagai ketua umum pertamanya. Klub-klub yang menjadi anggota Persib ketika itu adalah SIAP, Soenda, Singgalang, Diana, Matahari, OVU, RAN, HBOM, JOP, MALTA dan Merapi.
Selain Persib, pada saat itu, di Bandung ada juga perkumpulan sepak bola milik orang-orang Belanda bernama Voetbal Bond Bandung & Omstreken (VBBO). Karena perkumpulan ini lebih banyak memainkan pertandingannya di Lapangan UNI dan SIDOLIG yang berada di pusat kota, orang-orang VBBO selalu memandang Persib sebagai perkumpulan kelas dua. Pasalnya, ketika itu Persib memang memainkan pertandingan-pertandingannya di pinggiran kota seperti Tegallega dan Ciroyom. Karena berada di tengah kota, warga kota Bandung pun lebih senang menyaksikan pertandingan VBBO.
Tapi, menjelang pendudukan Jepang, Persib menjadi satu-satunya perkumpulan sepak bola di Bandung, karena VBBO membubarkan diri. Saat itu, VBBO juga menyerahkan tiga lapangan yang biasa dipakainya yaitu UNI, SIDOLIG dan SPARTA (kini Stadion Siliwangi) kepada Persib. Selain itu, beberapa klub anggota VBBO seperti UNI dan SIDOLIG juga bergabung dengan Persib.
Sayang, pada masa pendudukan Jepang, seluruh kegiatan persepak bolaan di tanar air, tak terkecuali Bandung dihentikan dan perkumpulannya dibredel. Persib pun mengalami hal yang sama, karena pemerintahan kolonial Jepang juga mendirikan sebuah perkumpulan yang memayungi seluruh kegiatan olahraga bernama Rengo Tai Iku Kai.
Kendati tidak eksis, namun semangat Persib tetap hidup di hati tokoh-tokoh sepak bola dan pejuang Bandung ketika itu. Tidak heran, ketika Indonesia merdeka dan Jepang terusir dari tanah air, Persib langsung kembali menunjukkan eksistensinya. Namun, karena situasi dan kondisi saat itu, Persib terpaksa didirikan kembali di Tasikmalaya, Sumedang dan Yogyakarta. Pasalnya, para tokoh Persib yang kebanyakan pejuang dan prajurit Siliwangi ketika itu harus meninggalkan Bandung untuk hijrah ke Yogyakarta. Baru pada tahun 1948, Persib bisa dihidupkan kembali di Bandung oleh beberapa tokoh di antaranya dr. Musa, H. Alexa, Rd. Sugeng dan A. Munadi yang kemudian ditunjuk sebagai ketua.
Kendati demikian, kehadiran pemerintah kolonial Belanda yang masuk dengan mendompleng tentara sekutu (NICA) kembali merongrong eksistensi Persib. Pemerintah kolonial Belanda kembali ingin menghidupkan VBBO. Namun, upaya Belanda itu kembali gagal dan Persib tetap menjadi satu-satunya perkumpulan sepak bola di Bandung hingga saat ini.

1930-1990an: Persib dan Kompetisi Perserikatan

Selain menjadi deklarator berdirinya PSSI pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta, Persib pun berperan besar dalam mendorong PSSI untuk menggelar kompetisi antar perserikatan yang menjadi anggotanya. Pada tahun 1937, kompetisi reguler yang sudah dirintis jauh-jauh hari itu akhirnya terlaksana. Kompetisi Perserikatan pertama digelar di Solo dan Persib tampil sebagai kampiun.
Tonggak sejarah emas itu ditorehkan Persib setelah menghancurkan raksasa sepak bola Indonesia ketika itu, Persis Solo 2-1 di Stadion Sriwedari, Solo. Berdasarkan sejumlah catatan yang ditemukan, sejumlah nama pemain yang memperkuat Persib di partai tersebut antara lain Enang Durasid, Komar, Jasin, Arifin, Kucid, Edang, Ibrahim Iskandar, Saban, Sugondo, dan Adang.
Sayang, setahun kemudian Persib gagal mempertahankan gelarnya. Dalam kejuaraan yang kembali dipentaskan di Solo, VIJ Jakarta tampil sebagai kampiun setelah menjungkalkan Persebaya Surabaya. Pada tahun 1939, dalam kejuaraan yang digelar di Yogyakarta, nama Persib kembali muncul, meski hanya menempati peringkat ketiga di bawah Persis dan tuan rumah PSIM. Sejumlah nama pemain yang tercatat memperkuat Persib ketika itu adalah Jasin, Komar, Sugondo, Enang, Durasid, Ana dan Z. Arifin. Pada tahun 1940, nama Persib kembali menghilang catatan.
Memasuki dekade 40-an, situasi politik dalam negeri ketika itu banyak mengganggu jalannya Kompetisi Perserikatan. Apalagi, pemerintahan kolonial Jepang membredel seluruh perkumpulan sepak bola yang ada di tanah air, termasuk PSSI. Setelah Indonesia Merdeka, 17 Agustus 1945, kompetisi belum juga bisa digulirkan, karena pemerintah kolonial Belanda kembali masuk ke Indonesia dengan mendompleng tentara sekutu (NICA). Pada dekade itu, Kompetisi Perserikatan hanya bisa digelar lima kali yaitu pada tahun 1941, 1942, 1943, 1948 dan 1950.
Pada tahun 1941, Persib gagal menjadi yang terbaik, meski kompetisi digelar di Bandung. Ketika itu, Persib kalah bersaing dengan Persis dan Persebaya yang akhirnya tampil sebagai juara dan runner-up. Dalam dua tahun berikutnya, ketika kejuaraan dipentaskan di Surabaya dan Yogyakarta, nama Persib tidak masuk ke posisi “2 Besar” dan Persis kembali menjadi jawara secara berturut-turut. Persis juga tampil sebagai kampiun pada tahun 1948 di Yogyakarta. Tahun 1950, Persib hanya mampu menjadi runner-up dalam kejuaraan yang bersamaan dengan Kongres PSSI di Semarang. Persib gagal tampil sebagai juara setelah dikalahkan Persebaya. Beberapa nama pemain yang membela Persib saat itu antara lain Aang Witarsa, Amung, Anda, Ganda, Freddy Timisella, Sundawa, Toha, Leepel, Smith, Jahja, dan Wagiman.
Pada dekade 50-an, prestasi Persib tidak begitu mencuat. Karena gagal bersaing dengan Persija di tingkat zona, pada tahun 1951, Persib gagal lolos ke putaran final. Setelah hanya mampu menempati peringkat ketiga pada tahun 1952 di Surabaya, 1954 di Jakarta dan 1957 di Padang, Persib mulai menggeliat pada tahun 1959. Sayang, kesempatan untuk meraih gelar juara hilang ketika pada pertandingan terakhir dikalahkan PSM Makassar 1-2 di Lapangan Ikada, Jakarta. Dalam pertandingan itu, Persib sempat unggul lebih dulu lewat gol cepat Omo Suratmo, sebelum PSM membalikkan keadaan melalui dua gol Ramang dan Suwardi Arlan. Sebelum pertandingan penentuan melawan PSM itu, Persib tampil mengesankan dengan membekap Persija 3-1 melalui gol-gol Kiat Shek (menit 7), Parhim (17), Omo Suratmo (72), dan mencukur Persebaya 6-0 lewat sumbangan gol Aang Witarsa, Ade Dana, Kiat Shek, Omo (2 gol) dan Atik di Lapangan Ikada Jakarta. Selanjutkan, ketika bertanding di Padang, Persib mempermalukan tuan rumah PSP 3-2. Namun, pada saat memainkan partai home di Stadion Siliwangi melawan PSIS Semarang, Persib justru menyerah 1-2. Gol Omo pada menit 40, tidak mampu membantu Persib meraih kemenangan atas PSIS. Persib kembali membuka persaingan dengan PSM yang belum terkalahkan setelah mencukur PSMS Medan 8-1 lewat dua gol yang masing-masing dicetak Omo dan Unang, hattrick Parhim serta satu gol tambahan dari Kiat Shek.
Pada musim ini, materi pemain Persib antara lain Hehanusa, Iwan (kiper), Sulaeman, Hafid, Akbar, Rukma, Nandang, Atik, Parhim, Kiat Shek, Omo Suratmo, Sukarna, Aang Witarsa, Ade Dana, dan Unang. Penantian panjang Persib untuk kembali menjuarai Kompetisi Perserikatan berakhir pada tahun 1961. Berbeda dengan musim sebelumnya, kali ini Persib memenangkan persaingan dengan PSM. Di putaran final yang diikuti tujuh kontestan, Persib mencatat 5 kali menang dan sekali imbang untuk mengumpulkan nilai 11, atau satu angka lebih baik ketimbang PSM. Anggota skuad Persib yang mengakhiri paceklik gelar Persib pada tahun 1961 itu adalah Simon Hehanusa, Hermanus, Juju (kiper), Ishak Udin, Iljas Hadade, Rukma, Fatah Hidayat, Sunarto, Him Tjhiang, Ade Dana, Hengki Timisela, Wowo Sunaryo, Nazar, Omo Suratmo, Suhendar, dan Piece Timisela
Lima kemenangan yang diraih Persib pada putaran final dicatat pada saat menghantam Persema Malang 7-1 di Makassar, PSMS Medan 5-3, PSIS Semarang 6-2 di Bandung, Persebaya 2-1 dan Persija 3-1 di Semarang. Satu-satunya hasil imbang yang dicatat Wowo Sunaryo dan kawan-kawan adalah ketika bermain 0-0 dengan PSM dalam sebuah pertandingan yang diwarnai kerusuhan di Makassar. Pertandingan melawan PSM ini terpaksa dihentikan pada menit 85, karena penonton tuan rumah tidak bisa menerima keputusan wasit yang memberikan hukuman penalti setelah seorang pemain belakang mereka menyentuh bola dengan tangan di kotak terlarang.
Setelah itu, prestasi Persib kembali melorot dan gagal mempertahankan gelar pada Kompetisi Perserikatan 1964 dan 1965 di Jakarta. Setahun berikutnya, Persib harus puas menjadi runner up, karena harus kembali mengakui keunggulan PSM Makassar di Jakarta. Begitu juga pada tahun 1967, ketika PSMS tampil sebagai juara dengan menyisihkan Persebaya Surabaya.
Memasuki dekade 1970-an, catatan paling kelam harus dialami Persib. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, praktis tidak ada prestasi membanggakan yang diraih. Pada tahun 1971, Persib kalah bersaing dengan PSMS Medan yang akhirnya tampil sebagai juara, Persebaya Surabaya (runner-up), Persija Jakarta (peringkat 3), PSM Makassar (4), PSL Langkat, Persema Malang dan Persipura Jayapura sehingga terlempar dari posisi “4 Besar”. Akibatnya, Persib tidak berhak tampil di Turnamen “Piala Soeharto” yang hanya diikuti oleh empat tim terbaik.
Dua tahun kemudian di Jakarta, Persib hanya mengakhiri kompetisi di peringkat ketujuh dari delapan kontestan dengan rekor sekali menang, sekali imbang dan 5 kali kalah. Satu-satunya kemenangan Persib dicatat pada partai pembuka ketika menjungkalkan juara bertahan, PSMS 3-1. Sedangkan lima kekalahan Persib dialami dari Persija 0-2 yang akhirnya tampil sebagai juara, Persipura Jayapura 0-2, Persebaya Surabaya 0-1, dan PSBI Blitar 0-1. Hasil imbang dicatat ketika bermain 2-2 dengan PSL Langkat. Kegagalan Persib sedikit terobati ketika salah seorang bintang muda Persib, Risnandar Soendoro dinobatkan sebagai pemain terbaik Kompetisi Perserikatan 1973.
Pada Kompetisi Perserikatan 1975, Persib benar-benar kehilangan tempat di jajaran elit sepak bola nasional. Saat itu, Persib tidak mampu meloloskan diri ke putaran final karena hanya menempati peringkat ketiga Pool D babak “18 Besar”. Dari 4 partai yang dimainkan di Stadion Menteng Jakarta, Persib hanya mencatat dua kemenangan dari PSM Makassar 2-0 lewat gol Encas Tonif pada menit 74 dan Teten menit 81 serta Gasko Kolaka 4-0 melalui hattrick Dedi Sutendi dan Akub.
Prestasi Persib kembali meningkat pada musim 1975-1978. Setelah menjuarai babak kualifikasi Grup B di Stadion Siliwangi Bandung dan Stadion Bima Cirebon, Persib lolos ke putaran final. Pada babak kualifikasi ini, Persib mencatat rekor tak terkalahkan dan tak pernah kebobolan dalam empat partai yang dimainkannya. Pada pertandingan pertama, gol-gol yang disumbangkan Atik (menit 29), Nandar Iskandar (41-pen.), Max Timisela (43), Teten (44) dan Herry Kiswanto (60) membawa Persib menundukkan PSKB Binjai 5-0.
Selanjutnya, Persib membantai Persisum Sumbawa 6-0 dan membekap PSM Makassar 3-0 lewat dua gol Tjetjep pada menit 16 dan 59 serta Zulham Effendi, empat menit menjelang pertandingan usai. Pada pertandingan penutup, Persib mengalahkan Perseban Banjarmasin 2-0 melalui gol yang diciptakan Zulham Effendi dan Nandar Iskandar sekaligus memastikan diri lolos ke babak “8 Besar”.
Namun, pada putaran final yang digelar di Jakarta, Persib harus mengubur impiannya lolos ke semifinal. Meski sempat mencatat kemenangan 2-0 atas Persipura lewat gol Atik dan Nandar Iskandar, namun dalam dua pertandingan terakhir, Persib dibekap Persebaya 0-2 dan tuan rumah Persija 0-3. Catatan sekali menang dan 2 kali kalah ini menempatkan Persib di peringkat ketiga Grup G.
Sial buat Persib, mulai tahun 1979, PSSI mulai menerapkan pembagian divisi buat tim-tim perserikatan yang mengharuskan sistem promosi dan degradasi diberlakukan. Ketika itu PSSI menetapkan, Divisi Utama Perserikatan hanya dihuni 5 tim dan tiga tim terbawah di putaran final kompetisi 1978 harus terdegradasi ke Divisi I. Karena hanya menempati peringkat ketiga Grup G, Persib harus menghadapi peringkat ketiga Grup F, Persiraja Banda Aceh untuk mencari tim ketiga yang terlempar ke Divisi I. Dua tim yang otomotis terdegradasi adalah tim juru kunci Grup F PSBI Blitar dan Grup G Persipura Jayapura. Pada partai play-off ini, Persib menyerah 1-2 dari Persiraja yang memaksanya bertarung dari “kampung ke kampung” pada musim kompetisi berikutnya.
Pada musim pertamanya di Divisi I, Persib menjuarai Grup V yang merupakan babak kualifikasi pertama (tingkat zona). Di babak kedua tingkat nasional, Persib bergabung di Grup B bersama Perseden Denpasar, Persigowa Gowa dan PSP Padang. Persib memastikan diri lolos ke babak “6 Besar” setelah mencatat sekali menang, sekali imbang dan sekali kalah di Stadion Sriwedari Solo. Sebagai runner-up Grup B, Persib lolos bersama Perseden.
Lolosnya Persib ke babak “6 Besar” ditentukan pada partai terakhir ketika mengalahkan Perseden 3-0 lewat gol Risnandar melalui titik penalti pada menit 8, Tjetjep (35) dan Ismawadi (42). Dalam dua pertandingan sebelumnya, Persib dikalahkan PSP 0-1 dan bermain imbang 1-1 dengan Persigowa. Gol Persib ke gawang Persigowa dicetak Itang pada menit 42.
Namun, Persib yang tergabung di Grup D babak “6 Besar:, gagal kembali ke Divisi Utama, karena hanya mampu bermain imbang 0-0 dengan PSKB Binjai dan dikalahkan Persipura 1-2. Dalam pertandingan ini, dua gol Persipura dicetak Panus Korwa menit ke-2 dan Hengky Heipon menit 4. Sedangkan gol balasan Persib dicetak Atik pada menit 75.
Pada musim berikutnya, pengurus Persib melakukan terobosan dengan mendatangkan pelatih asal Polandia, Marek Janota. Ketika itu, Marek diberi tugas untuk membina para pemain muda Persib secara berkesinambungan. Kelak, pemain-pemain tersebut akan menjadi tulang punggung Persib senior. Sementara itu, tim Persib senior yang dipimpin Manajer H.M. Ruchiyat dan pelatih Risnandar serta dibantu dua sistennya, Wowo Sunaryo dan Suhendar terus berusaha bangkit.
Setelah berjuang dari tingkat zona, wilayah dan nasional, dengan materi pemain di antaranya Sobur, Adeng Hudaya, Suryamin, Encas Tonif, dan Iwan Sunarya, pada tahun 1980 Persib akhirnya kembali ke Divisi Utama bersama PSIS Semarang, Persema Malang dan PSP Padang untuk melengkapi 6 tim lain di Divisi Utama yaitu Persija Jakarta, PSMS Medan, Persipura Jayapura, PSM Makassar, Persebaya Surabaya dan Persiraja Banda Aceh.
Setelah kembali ke Divisi Utama pada Kompetisi Perserikatan 1983, Persib langsung unjuk gigi. Meski pada putaran pertama Wilayah Barat di Stadion Imam Bonjol, Padang, hanya mencatat sekali kemenangan atas PSP Padang 2-1 (sisanya kalah 1-2 dari PSMS serta bermain imbang 2-2 dengan PSMS dan 0-0 dengan Persija), Persib memastikan diri lolos ke babak “4 Besar”, setelah mencetak 3 kemenangan dan sekali imbang di putaran kedua di Stadion Siliwangi.
Pada pertandingan pertama, gol-gol yang disumbangkan Adeng Hudaya (30), Wolter Sulu (52), Encas Tonif (66) dan Bambang Sukowiyono (72) mengantarkan Persib meraih kemenangan 4-0 atas Persiraja. Selanjutnya, PSP dibabat 5-0 lewat hattrick Adjat Sudradjat pada menit 18, 38 dan 55, serta gol tambahan dari Bambang Sukowiyono (8) dan Robby Darwis (68). PSMS yang akhirnya tampil sebagai juara Wilayah Barat juga ditaklukan dengan skor 3-1 melalui gol Bambang Sukowiyono (12-pen.) dan dua gol Adjat Sudradjat pada menit 22 dan 66. Pada partai pamungkas Wilayah Barat, Persib bermain imbang tanpa gol dengan Persija.
Di babak “4 Besar” yang berlangsung di Stadion Utama Senayan, Persib dan PSMS bergabung dengan dua wakil Wilayah Timur, Persebaya Surabaya dan PSM Makassar. Persib akhirnya lolos ke grandfinal setelah mengalahkan Persebaya 2-1 lewat gol Wawan Karnawan (40) dan Wolter Sulu (60); kembali membekap PSMS 2-1 melalui dua gol yang diborong Adjat Sudradjat dan menghancurkan PSM Makassar 3-0 lewat gol Djafar Sidik (10), Yana Rodiana dan Bambang Sukowiyono (74).
Sebagai tim yang mencatat hasil sempurna, Persib diunggulkan untuk kembali merebut Piala Presiden. Namun, Persib yang tampil impresif akhirnya gagal karena harus mengakui keunggulan PSMS 2-3 melalui drama adu penalti, setelah bermain imbang tanpa gol dalam waktu normal. Dengan materi pemain yang tidak jauh berbeda, Persib mencatat hasil serupa. Pada pertandingan final ulangan, Persib kembali harus berduka karena kembali menyerah 1-2 dalam duel adu penalti dengan PSMS. Dalam waktu normal dan perpanjangan waktu, Persib dan PSMS bermain imbang 2-2 dalam partai final yang disaksikan sekitar 150.000 penonton yang memadati Stadion Utama Senayan.
Dua kegagalan pada musim 1982/1983 dan 1983/1984, tidak membuat Persib patah arang. Pada tahun 1986, Adeng Hudaya dan kawan-kawan akhirnya bisa membumikan Piala Presiden di Bandung setelah di final mengalahkan Perseman Manokwari 1-0 lewat gol tunggal Djadjang Nurdjaman.
Para pemain yang sukses mengakhiri penantian panjang Persib selama seperempat abad itu sebagian besar merupakan hasil binaan Marek Janota. Ketika itu skuad Persib dihuni Sobur, Boyke Adam, Wawan Hermawan (penjaga gawang), Wawan Karnawan, Ade Mulyono, Suryamin, Ujang Mulyana, Sarjono, Adeng Hudaya, Robby Darwis, Yoce Roni, Kornelis, Ajid Hermawan, Ajat Sudradjat, Yana Rodiana, Sam Triawan, Iwan Sunarya, Dede Rosadi, Djadjang Nurdjaman, Bambang Sukowiyono, Suhendar, Kosasih dan Djafar Sidik. Pemain-pemain berbakat itu ditangani pelatih Nandar Iskandar.
Sayang, Piala Presiden gagal dipertahankan Persib pada musim berikutnya, 1986/1987. Setelah lolos ke babak “6 Besar”, Persib gagal lolos ke grandfinal karena hanya berada di peringkat ketiga klasemen akhir. Nilai yang dikumpulkan Persib yaitu 6, hasil sekali menang dan 4 kali seri, sebenarnya sama dengan PSIS Semarang. Namun, karena buruknya produktivitas gol, Persib harus memberikan tempat di grandfinal kepada PSIS yang akhirnya tampil sebagai juara dengan mengalahkan Persebaya 1-0. Dari 5 pertandingan yang dimainkan, Persib hanya mencetak dua gol melalui Adjat Sudradjat ketika bermain imbang 1-1 dengan Persipura dan Adeng Hudaya saat mengalahkan PSIS 1-0.
Pada musim berikutnya, 1987/1988, Persib mencatat hasil serupa. Ketika itu, Persib kalah bersaing dengan Persebaya yang akhirnya tampil sebagai juara dan Persija. Namun, pada musim 1989/1990, Persib kembali unjuk gigi. Di bawah besutan pelatih Ade Dana dan dua asistennya Dede Rusli dan Indra M. Thohir, Persib tampil sebagai kampiun setelah pada babak grandfinal di Stadion Utama Senayan mengalahkan PSM Makassar 2-0 lewat gol bunuh diri Subangkit dan Dede Rosadi.
Mengawali dekade 90-an, Persib mengawali Kompetisi Perserikatan dengan kegagalan. Namun, setelah lolos dari babak reguler Wilayah Barat ke babak “6 Besar” bersama PSMS dan PSDS Deli Serdang, Persib masih sempat lolos ke semifinal berkat kemenangan 2-1 atas Persebaya lewat gol Kekey Zakaria menit ke-7 dan Robby Darwis menit 30 dan menjinakkan PSDS 1-0 melalui gol tunggal Dede Rosadi pada menit 62. Namun, di semifinal, Persib harus mengakui keunggulan PSM Makassar 1-2. Gol Robby Darwis melalui titik penalti pada menit 65 tidak mampu menyelamatkan Persib karena PSM mampu mencetak dua gol melalui Alimudin Usman pada menit 54 lewat titik penalti dan Kaharudin menit 79.
Kegagalan Persib makin lengkap ketika pada pertandingan perebutan tempat ketiga pun dikalahkan Persebaya 1-2. Bagi Persib, peringkat keempat ini menjadi prestasi terburuk sejak kebangkitan di awal dekade 80-an.
Tapi, seperti sudah menjadi garis tangan Persib, kegagalan itu langsung dibayar pada musim 1993/1994. Persib kembali jadi kampiun disertai catatan sejarah, karena musim 1993/1994 merupakan Kompetisi Perserikatan terakhir, sebelum dilebur menjadi Liga Indonesia (LI) pada musim 1994/1995. Persib berhasil membumikan Piala Presiden di Bandung untuk selamanya, setelah di final menjungkalkan PSM Makassar 2-0. Dua gol kemenangan Persib pada partai final yang disaksikan lebih dari 100.000 penonton itu dicetak Yudi Guntara menit ke-26 dan Sutiono Lamso menit 71. Pada partai final itu, pelatih Indra M. Thohir yang didampingi Asisten Pelatih Djadjang Nurdjaman dan Emen Suwarman menurunkan formasi terbaiknya yaitu Aris Rinaldi (kiper); Robby Darwis, Roy Darwis, Yadi Mulyadi (belakang); Dede Iskandar, Nandang Kurnaedi, Asep Kustiana, Yusuf Bachtiar, Yudi Guntara (gelandang), Kekey Zakaria, dan Sutiono Lamso (striker).

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik