kisah pembentukan pssi binatama

Written By iqbal_editing on Rabu, 28 Juni 2017 | 01.38

Kisah Pembentukan PSSI Binatama (1979)

Jakarta, Oktober 1979. “Sudah saatnya kita memindahkan permainan bola dari dengkul ke kepala.” Begitu komentar Syarnubi Said, Ketua Bidang Lembaga Sepak Bola PSSI di era Ketua Umum PSSI Ali Sadikin sebagaimana dilansir majalah TEMPO.
Inilah awal kisah pembentukan timnas Indonesia Bina Utama yang dibahas ulang oleh NovanMediaResearch. Kita lazimnya menyebut sebagai proyek PSSI Binatama. Latar belakangnya, karena prestasi timnas Indonesia selalu mengecewakan. Terakhir dalam Piala Dunia Junior 1979 di Tokyo, Jepang. [Pada masa ini, juara dan runner-up Piala Asia Junior 1978 berhak mewakili Asia, yaitu Korea Selatan dan Irak. Jepang sendiri berperan sebagai tuan rumah sehingga sudah pasti ikut. Sayang, Irak mengundurkan diri karena menganggap sponsor Coca Cola sebagai kepentingan negara barat. Kuwait pun bersikap sama. Korea Utara? Terlambat mendaftarkan diri. Lalu, siapa wakil berikutnya? Kalau negara-negara Timur Tengah mungkin sama saja. Akhirnya, Indonesia-lah yang menjadi salah satu wakil Asia di Piala Dunia Junior 1979.]
Dengan rentetan kegagalan dalam 10 tahun itu (baca: “hanya” juara Pesta Sukan Singapura 1972 dan Anniversary Cup 1972), PSSI membentuk PSSI Binatama pada Oktober 1979. Sebanyak 20-an pemain yang berumur di bawah 23 tahun diseleksi di Brasil. Mereka berasal dari klub-klub Galatama dan dilatih oleh Walter Miralha Alves —ada juga yang menulis Alves Miralha Walter. Tentu saja, beberapa pelatih Indonesia ikut serta, yaitu Sinyo Aliandu, Sutjipto Soentoro, Sartono Anwar, dan Jopie Timisela.
Tampaknya Brasil dipilih untuk tempat berlatih supaya gaya permainan Indonesia lebih mendekati pola Amerika Latin. “Cuma pemain Indonesia masih kurang pakai otak,” kata Walter. [Ngeri amat he he he.] Namun, ada alasannya loh. Ia melihat penampilan PSSI Utama dan Galatama Selection ketika melawan Cosmos New York (Amerika Serikat) di Stadion Utama Senayan, Oktober 1979.
Walter mengkritik, para pemain Indonesia sering terlalu lama mempermainkan bola di kaki sendiri. “Ada kala sampai 20 detik dia berputar-putar sebelum mengoperkannya kepada teman, dan itu pun kalau sudah kecapean. Bagaimana operan bisa tepat pada sasaran?” Dalam teknik memainkan bola, katanya, para pemain Indonesia lebih suka kutak-katik di tengah lapangan. “Bila bola dioperkan ke tengah lapangan, berarti pemain profesional sudah harus menciptakan gol,” lanjut Walter.
Di Brasilia nanti, Walter akan membenahi faktor fisik dan teknik. Ia menilai bahwa jangka waktu 6 bulan sudah mencukupi. “Sekembalinya dari Brasilia, mereka pasti akan menjadi pemain kelas yang lebih tinggi,” janji Walter.
Dalam perkembangannya, Sinyo Aliandu tidak ikut serta. “Tidak akan banyak manfaatnya,” ungkapnya. Namun, ada bahasa halusnya: “Saya pelatih yang digaji Tunas Inti. Kalau saya pergi selama 6 bulan, siapa yang akan mengurus klub?”. Jika Sinyo Aliandu mundur maka Ipong Silalahi maju.
Akhir Oktober 1979 pun PSSI Binatama siap berangkat ke Brasil. Sayang, baru tiga pekan, PSSI Binatama dilanda keresahan. Empat pelatih Indonesia mulai meragukan kemampuan Walter Miralha Alves. “Kami bukannya tambah pintar, malah kuatir akan bertambah bodoh di Brasilia,” kata Sutjipto.
Tentu saja, Maulwi Saelan sebagai perwakilan dari PSSI membantahnya. “Ingat, ini kan baru tiga pekan.” Namun, dalam perkembangannya, Walter Miralha Alves digantikan oleh Ceninho.
Ya, itulah kisah pembentukan PSSI Binatama. Kabarnya, semula proyek PSSI Binatama ini akan dibina oleh Carlos Alberto. Namun, ia sudah dikontrak klub lain sehingga tempatnya digantikan oleh Walter Miralha Alves.
Dalam catatan NovanMediaResearch, proyek-proyek semacam pemusatan pelatihan yang menetap di satu tempat ini sudah pernah terjadi di Indonesia. Namun, tidak dipusatkan di luar negeri. Itulah Diklat Salatiga 1963 dan 1973.
Oh ya, belum juga PSSI Binatama pulang ke Indonesia, Frans van Balkom dipinang. Pada awalnya Frans van Balkom (pelatih Hong Kong di Pra Piala Dunia 1978) didatangkan ke Indonesia untuk menangani NIAC Mitra. Namun, PSSI ternyata membutuhkannya untuk timnas Indonesia di Pra Olimpiade 1980.
Hasilnya? Silakan cari data sendiri. Jeblok! Kalau bahasa halus saya: “Belum rejekinya”.

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik